Saturday, December 23, 2006

SURGA UNTUK SEMUA PART.1

duduk.
santai sejenak.

disini hanya ada aku dan engkau
beserta Tuhan kita yang sedang tertawa

malam terlalu larut bagi kita
untuk berebut surga
untuk saling menghujat
dan untuk saling memaksa percaya


anindito,desember sembilanbelas duaribu enam

Wednesday, July 05, 2006

BALADA SALAH TANGKAP (TERULANG LAGI)


Kisah klasik era orde baru terulang lagi,mengingatkan pada kasus Sengkon dan Karta (1974).Kali ini korbannya adalah Budi Harjono,yang disangka membunuh ayah kandungnya sendiri.Mendekam enam bulan di Pemaysarakatan Bulak Kapal Bekasi pada pertengahan 2002.Empat tahun peristiwa berselang,kejadian sebenarnya terungkap.Masin yang mantan pekerja bangunan di rumah keluarga almarhum Ali Harta Winata yang tidak lain adalah ayah kandung Budi Haryono akhirnya ditangkap.Ia mengakui bahwa dialah yang membunuh Ali Harta.

17 November 2002 Ali Harta ditemukan tewas mengenaskan di kamar mandi rumahnya dengan luka tulang hidung patah,memar di kepala belakang dan cekikan tangan di lehernya.Eni,istrinya merupakan satu satunya saksi kunci kejadian tersebut yang malangnya,dihajar balok kayu hingga harus dirawat dirumah sakit enam bulan lamanya,luka lukanya menyebabkan harus dilakukannya operasi..Adapun pembantu keluarga tersebut,Ningsih juga merupakan saksi walaupun keterangannya tidak sekrusial Eni.

Dan serangkaian keanehan mulai terjadi.Eni yang masih sakit dan harus dirawat dipaksa datang ke Polres Bekasi untuk menjalani pemeriksaan.Tiga hari dua malam tidur di ubin tanpa selimut di ruang sempit,dalam kondisi sakit dan harus dioperasi.Eni juga dipaksa mengatakan bahwa Budi lah yang membunuh ayahnya sendiri “Kalau nggak mau,biar anak ibu saya matiin tuturnya menirukan ucapan oknum penyidik.Hingga akhirnya ia menyerah,”Terserah mau tulis apa,yang penting anak saya nggak kenapa kenapa” tuturnya.

Kejadian yang dialami Ningsih lebih parah lagi,dia diperiksa dibawah todongan senjata api dan dipaksa mengaku bahwa ia melihat Budi menyeret ayahnya ke kamar mandi pada saat malam kejadian.Yang akhirnya semua pengakuan tersebut dia sangkal di pengadilan,karena merasa dia telah menceritakan kejadian yang tidak sebenarnya terjadi.

Nasib Budi jauh lebih parah dibanding kedua saksi tersebut,selain ditetapkan sebagai tersangka pembunuh ayahnya sendiri tanpa bukti yang jelas,ia juga mengalami penyiksaan fisik dan mental sewaktu berada dalam penahanan Polres Bekasi.Dia dipaksa mengakui dan mengiyakan semua cerita versi penyidik,demi menjaga keselamatan ibunya yang diancam akan dibunuh oleh penyidik apabila Budi menyangkal cerita karangan versi polisi.

Pada akhirnya persidangan digelar,karena tidak cukup bukti maka Budi Harjono dibebaskan dari segala tuduhan,namun tetap saja stigma yang melekat di masyarakat adalah : Budi Harjono membunuh ayahnya sendiri.

Entah apa yang memotivasi penyidik untuk memaksa Budi Harjono mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.Kasus pembunuhan ini terlalu biasa,jenis yang mungkin setiap hari selalu muncul di berita kriminal siang bolong.Kasus pembunuhan yang bukan melibatkan anak pejabat,artis terkenal dan tokoh masyarakat terkemuka.Demi Tuhan,ini “hanyalah” pembunuhan dengan korbannya pemilik toko material bangunan!

Hingga akhirnya saya setengah kaget tak percaya,setelah mengetahui bahwa Budi Harjono ternyata seorang tionghoa.

Apapun motifnya,yang jelas hal ini menjadi preseden buruk dan memalukan bagi lembaga peradilan di republik ini.Tindakan penyidik yang melampaui wewenangnya dengan menggunakan siksaan fisik dan mental demi mendapatkan keterangan adalah bertentangan dengan hukum.Ditambah lagi ternyata,Budi Harjono beserta keluarganya berasal dari etnis tertentu yang telah lama diperlakukan diskriminatif di hadapan hukum.

Setelah kasus ini terangkat oleh media,pastilah ini merupakan tamparan keras bagi oknum penegak hukum dan lembaga peradilan.Tindakan mengesampingkan asas praduga tak bersalah dan memperlakukan seseorang secara diskriminatif di hadapan hukum sangatlah “orde baru” dan ketinggalan zaman.Kesan buruk yang melekat pada oknum penegak hukum seakan akan semakin dipertegas dengan adanya kejadian ini.

Tulisan ini bukanlah diktat hukum,saya percaya bahwa seberapa hebat apapun suatu teori hukum akan tidak berguna apabila penegakannya diserahkan kepada orang orang yang berdedikasi rendah,picik,dan berorientasi materi.Penegakan hukum akan mandul dan bergerak tidak jelas arahnya.

Jadi mari kita kesampingkan sejenak segala peraturan dan tetek bengek hukum lainnya yang saya pelajari tiap hari,karena rasa-rasanya secara teoritis pun,oknum tersebut tetap saja salah dan tidak memiliki alasan pembenar,dan menjabarkan kesalahan kesalahan oknum penyidik tersebut dengan merujuk pada Kitab Undang Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana hanyalah membuat saya merasa duduk kembali dengan manis di bangku kuliah.

Mungkin anda tidak punya dasar pemikiran dan pengetahuan hukum,tapi saya yakin anda semua setidaknya memiliki hati nurani.Hati nurani yang dapat merasakan bahwa memang sudah saatnya semua orang diperlakukan sama dihadapan hukum.Hati nurani yang berbicara bahwa tidak seharusnya ada seseorang pun yang berasal dari suku,agama dan ras tertentu yang pantas untuk mendapatkan perlakuan tidak adil di hadapan hukum.

Maka biarkanlah dewi keadilan di negeri ini tetap berpenutup mata,mengasah pedangnya yang telah lama tumpul,dan mengarahkan lancipnya kesegala penjuru.Agar tidak ada Budi Harjono-Budi Harjono lain di kemudian hari.

AMIN



anindito

Monday, April 10, 2006

EDUKASI SETENGAH HATI,EDUKASI MENIPU NURANI part.3


C.Evaluasi instan yang berakibat kemunduran.


"Sangat tidak masuk akal apabila mengharapkan kemajuan laksana membalik telapak tangan."

Mungkin karena terlalu gemar nonton film sulap atau sinetron hipnotis.Para petinggi instansi pendidikan negeri ini terus terusan kehilangan akal sehat.Meneruskan tradisi yang mutunya sudah jelas jelas dipertanyakan.Evaluasi instan yang dana nya lebih banyak dibocorkan.Ujian Akhir Nasional,adalah pesta gegap gempitanya dunia pendidikan.Setahun sekali.Untuk menguji,sekaligus bagi bagi komisi.

Susah payah belajar tiga tahun,tapi nasib kita ditentukan tiga hari.Jadi untuk apa belajar tiga tahun?Seringkali murid murid yang tidak kompeten untuk lulus,akhirnya malah lulus akibat lengahnya pengawas ujian di waktu ujian akhir.Seringkali juga murid murid pandai yang harusnya lulus dengan nilai memuaskan,malah tidak lulus akibat menderita sakit atau pikirannya sedang terpecah.Entah masalah pribadi,atau problem keluarga yang tidak bisa dilepaskan dari pikiran.

Evaluasi yang meluluskan orang orang salah sasaran.Evaluasi yang tidak meluluskan mereka yang kompeten.

Ini ibarat lomba menyusuri tiang sirkus setinggi dua puluh kaki.Pemain sirkus versus pegawai negeri.Semuanya berderet rapi,menunggu giliran menyusuri.Pemain sirkus bisa saja terpeleset,dan pegawai kantoran yang sedang hoki bisa saja menyusuri tiang dengan selamat.Sehat wal afiat.

Sunday, April 09, 2006

EDUKASI SETENGAH HATI,EDUKASI MENIPU NURANI part.2


B.Toleransi diajarkan untuk dilupakan


Di atas tanah yang kini kita pijak,turut berpijak pula teman teman dan saudara saudara kita yang berbeda suku,agama dan bahasa daerahnya.Yang mana menurut buku PPKn,kesemuanya harus saling tenggang rasa,hormat menghormati dan menjunjung tinggi toleransi.

Namun teori indah buku PPKn tersebut ironisnya malah seringkali tidak tergambarkan pada kehidupan nyata di sekolah.Realisasinya semu dan tidak ada artinya.Teori hanyalah teori.

Mungkin pernah ingat sewaktu zaman SMA dulu,anjuran walikota jakarta selatan yang menganjurkan setiap murid muslim di setiap SMA negeri untuk memakai baju koko dan kerudung bagi muslimah setiap hari jumat?Yang mana akhirnya anjuran itu pada prakteknya ditransformasikan menjadi kebijakan sekolah.Kewajiban yang harus dijalankan oleh setiap murid dan diancam sanksi jika tidak dijalankan.

Anjuran tersebut terus terang terdengar sangat aneh di telinga saya.Karena jelas jelas ini insitusi pendidikan negeri.Dimiliki oleh negara,bukan swasta.Yang mana negara seharusnya berlaku adil dan melihat kelima agama dengan sama rata.Tidak peduli mana yang mayoritas.Lalu,buat apa di sekolah ada simbolisasi agama?

Merasa bila saya melaksanakan ‘anjuran wajib’ sekolah tersebut,maka saya sama saja dengan berlaku diskriminatif terhadap teman teman yang berbeda agama.Saya memutuskan untuk menanggalkan baju koko saya selama 3 tahun lamanya dan memutuskan memakai kemeja biasa.

Jika saya dan teman teman muslim lainnya diperlakukan demikian ‘spesial’nya setiap hari jumat,apa kabar dengan teman teman saya yang berbeda agama?Jika saya dengan lantang ikut memamerkan simbol agama saya,bagaimana dengan teman saya itu?apakah mereka juga diberikan hak yang sama?

Lalu apa gunanya pakai baju koko di hari jumat?apabila hanya untuk memperlihatkan simbol,bahwa saya muslim.Karena hal tersebut saya rasa tidak dilakukan di tempat yang semestinya.Jika tempatnya adalah SMA islam,dan lembaga institusi pendidikan berbasis Islam mungkin hal tersebut dapat dibenarkan.Namun apabila hal tersebut diterapkan di SMA negeri?Saya khawatir tindakan tersebut berbau diskriminatif dan berpotensi menyinggung perasaan teman teman saya yang berbeda agama.

Tanpa memakai baju koko pun saya toh tetaplah murid Islam.Pakai baju koko setiap hari jumat pun juga tidak meningkatkan ketakwaan.Karena pakai baju bukanlah ibadah.

3 tahun lamanya saya merasa,sekolah tidak dengan cerdas mendidik saya menjadi orang yang adaptatif terhadap lingkungan.Sekolah tidak mengajarkan saya menjadi minoritas yang baik di tengah mayoritas.Sekolah tidak mengajarkan saya untuk bertindak selayaknya mayoritas disekeliling minoritas.

Lalu apa gunanya diajarkan PPKn,bila sekolah sendiri tidaklah mempunyai empati mendalam terhadap keberagaman muridnya?bila sekolah sendiri sangat jauh dari tenggang rasa dan hormat-menghormati?Bila senantiasa sekolah selalu meng-amini segala kebijakan yang berorientasi kepentingan mayoritas?